Faktor Risiko kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Dan Penyakit Infeksi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahPENDAHULUAN
Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2006).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007 ).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan kurang Vitamin A (KVA). Penyakit kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang giuzi dan juga kekurangan zat makanan. Penyakit gizi kurang banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji, 2005).
Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktor-faktor lain menentukan kebutuhan masing-masing orang akan zat gizi. Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita akibat kekurangan gizi yaitu KEP.
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan Zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita kekurangan gizi yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh, hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Syahmien Moehji, 2005).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh terhadap status gizi anak (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi antara berbagai faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi pangan dan infeksi, adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat protein melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Dideritanya panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran pencernaan, maka keadaan kurang gizi akan bertambah parah. Namun sebaliknya penyakit-penyakit tersebut dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Syahmien Moehji, 2005).
Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak, kondisi lingkungan atau penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta faktor sosial budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan adat kebiasaan yang merugikan (Syahmien Moehji, 2005).
Di provinsi gorontalo angka penderita gizi kurang yaitu sebesar 12,75% dari 336.111 balita yang di ukur menurut dinas kesehatan gorontalo tahun 2008.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2008 bahwa jumlah balita di kabupaten Boalemo yaitu 11.657 jiwa, dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa.
Data mengenai status gizi balita di Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi tahun 2009 menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi baik, 136 balita gizi kurang (16,16%) dan 11 balita gizi buruk (1,33%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun 2009 di wilayah kerja Puskesmas Dulupi. Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu <1% dan untuk kejadian gizi kurang <15%. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia sesuai hasil penelitian bermula dari krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan keluarga yang rendah, sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Unicef, 1999 dalam Khomsan, dkk 2005). Dari latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor Risiko kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Dan Penyakit Infeksi. Di Wilayah Kerja Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Berapa besar faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 2. Berapa besar faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 3. Berapa besar faktor risiko tingkat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 4. Berapa besar faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 5. Berapa besar faktor risiko tingkat pendapatan dengan kejadian gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. c. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. d. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. e. Untuk mengetahui faktor risiko pendapatan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber bacaan bagi para peneliti dimasa yang akan datang. 2. Manfaat Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Boalemo khususnya bagi Puskesmas Dulupi serta pihak lain dalam menentukan kebijakan untuk menekan dan menangani kasus gizi buruk dan gizi kurang pada bayi/anak balita. 3. Manfaat Praktis Untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian khususnya mengenai beberapa faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.